Photobucket
Thursday, July 12, 2007
BUDAK
Yang namanya budak
Tetaplah budak:
Rendah!

Meski dikenakan pada badannya
Pakaian kebesaran sebesar raja
Jika ia budak:
Tetaplah rendah!

Bukan persoalan siapa
Atau apa motifnya
Tapi engkau membudak:
Itulah rendah!

Kau rendahkan dirimu
Karenanya kaurendahkan aku
Begitupun telah kaurendahkan tuhanmu.




MASAKU
Hampir dipastikan
Masaku telah habis di sana
Orang-orang tak lagi mengenaliku
Yang dulu begitu cantik menghunus keberanian

Dan di pundakku terlihat lebam
Sebiru hari-hari yang malam
Dan orang-orang mengacuhkannya
Seperti udara kelam yang menikam

Sejurus didekapnya aku
Lalu ku mati pelan-pelan

Malang, 7 agust 2004




PUTING BELIUNG
Selembar keberanian gugur di medan perang
Bersamaan dengan angin puting beliung

Irama monoton
Kembali menghentak-hentak
Seperti hujan batu sepanjang tahun

Dan kuselipkan rinduku pada kepongahan
Untuk menghadang angin puting beliung
Hingga akan kuhujani
Hari-hari di sepanjang tahun
Dengan nyanyian peperangan
Yang elok dan agung

Malang, 7 agust 2004




KAKIKU TERPAKU
Aku berjalan
Mengendarai sepotong jarum jam
Detik demi detik aku lewati
Tanpa aku pernah mampu menghentikan geraknya
Atau melompat mengacuhkannya;
Karena turun dari jok itu
Adalah kematian bagiku

Tak tahu …
Tiba-tiba saja aku sudah terduduk di sini
Ketika seorang nenek renta
Dengan tertatih-tatih menghampiriku:
“Pulanglah, hari telah beranjak siang …”

Aku hanya bisa terdiam
Sambil memandang sang nenek itu berlalu;
Kakiku seperti terpaku!

Aku bermain di bebiruan hari ini
Memutar-mutar bola mimpi
Dalam kegersangan pikiran
Seorang kakek
Dengan tatap mata yang dalam ia bertutur kepadaku:
“Anak muda, pulanglah.
Hari telah menjadi siang!”

Aku hanya bisa terdiam
Sambil memandang sang kakek itu berlalu:
Kakiku seperti terpaku

Kembali aku bermain
Memutar-mutar bola mimpi
Kali ini …
Dengan seikat harapan
Ketika tiba-tiba berdiri di depan hidungku
Seorang muda perkasa
Yang dengan mata merah melotot
Ia menghardikku:
“Pulang!!
Hari telah menjadi siang!
Tidakkah kau lihat api
Yang menjalari dapur rumahmu
Tidakkah engkau dengar derai tawa
Yang menindih derai isak tangis
Tidakkah engkau cium
Bau busuk bangkai dalam nafas kamarmu
Tidakkah engkau rasakan kepedihan itu
Memasuki setiap ruang-ruang sempit
Kesadaranmu.


Segerahlah engkau pulang
Sebelum sang matahari
Benar-benar enggan menunggumu
Jangan biarkan saudara-saudaramu itu
Menjelma dewa-dewa
Berdiri angkuh di balik tembok-tembok istana
Yang suaranya menggaung dari menara
Sampai di padas-padas
Ngarai dan samudra
Dan kaudapati;
setiiap waktu mereka mengincar nyawamu. Nasibmu.
Bangunlah! Pulanglah!”

Aku hanya bisa terdiam
Sambil memandang sang perkasa itu berlalu:
Kakiku seperti terpaku!


[ Malang, 5 Mei 1999 ]




BERITA HARI INI
Berita hari ini:
Kudengar matahari enggan terbit
Sebab bulan tampaknya sedang bermalasan
Tidak tepat waktu
Tuk selesaikan tugas rutin
Kerja malam hari

Berita hari ini:
Kudengar mendung tebal bertebaran
Merayap pada dinding langit
Dan terlalu letih untuk beranjak kembali

Berita hari ini:
Koran-koran dan majalah robek
Televisi hanyalah rangkaian mesin yang membosankan
Yang semakin tak menawarkan apa-apa

Berita hari ini:
Udara panas menelusup
Pada setiap aliran darah
Kudengar orang-orang tiba-tiba berkumpul
Mengerumuni segumpal tubuh
Yang membujur kaku pada semak waktu
Di sebuah persimpangan yang lusuh

Berita hari ini:
Kudengar,
Tubuh malang itu adalah mayatku!

( malang, 21 April 2001 )




TAK KUJUAL
Kuhisap rokok dalam rapuh malam
Kuteguk anggur dalam sempoyomg kelam
Ketiadaan menjelma duri
Saat harus kuhadang aral

Berapa pun kau akan beli Indonesia
Tak kan pernah negeri ini akujual
Berapa pun kan kau tawar Indonesia
Sejengkal pun tak kan pernah kuberikan

( malang, 26 Agustus 1999 )



INFEKSI
Pada tanah
Kering jiwa-jiwa terbakar
Kemarin lusa,
Lusuh kain benderaku robek
Pahit cinta
Berkali harus kusemai

Pada nisan
Yang menebar bau anyir darah
Kemarin,
Mesiu telah mengirim kabar
Bahwa pagi ini kerja belum lagi selesai

Dan akutemui darahku mendidih
Menamparku untuk segera memburu
Bergegas aku berlari
Mewadahi desing peluru

Hingga pada luka
Yang memar membekas popor senapan
Hadirku untuk bersaksi
Telah membuat luka-luka infeksi

( Malang, 25 April 2001 )



TIDAK
Tidak!
Aku bilang, tidak!
Sebab hanya tidaklah
Yang bisa menjawab kekesalanku
pada kenyataan

Tidak!
Sebab hanya tidaklah
Yang dapat menghiburku
Atas kekalahan-kekalahan

Tidak!
Sekali lagi, tidak!
Sebab hanya tidaklah
Yang sanggup memaksaku
Untuk tetap bergolak
Atau paling tidak
Untuk berani berkata, tidak!

( Malang, 21 April 2001 )




DAMAI AGUNGMU NUSANTARA
Raharjaning nuswantara
Langit kedap biru
Cumlorot cahyaning srengenge
Linandep ing antaraning mega-mega

Damai agungmu nusantara
Dalam pernik-pernik yang ditumbuhi pepohonan
Yang cabang dan rantingnya menjalari cakrawala
Maka jika saja kau lihat patahan dahan dan bijian
Yang tersentuh wangi bumimu
Lekas serabut kecil itu akan menyeruak
Dan segera membelukar dalam subur perutmu

Damai agungmu nusantara
Yang menghias khatulistiwa dengan kapas mendung
pada pagi cerah
Serta mega warna kuning keemasan
Saat matahari tenggelam ke dasar lautan
Indahmu samudra…
Yang menyimpan pantai dengan pasir warna-warni
Hingga buih dan sauh pun
Akan menjadi teramat betah berlama-lama di sana
Hingga para nelayanmu
Adalah prajurit gagah perkasa
Yang enggan menyerah

Raharjaning nuswantara
Langit kedap biru
Cumlorot cahyaning srengenge
Linandep ing antaraning mega-mega

Gemulai pertiwi
Mengibaskan lengan dengan lentik jemarinya
Menebar bunga pada landai angin laut pantai
Serta sejuk pada rindang teguh gunung-gunungmu
yang termenung

Senyumnya menyeruak galau
Lembut sorot matanya rindu
Membelai kaki-kaki bukit
Yang melukis pelangi pada batas cakrawala,
Usai hujan yang membasah
Ia mengusap batang-batang padi
Serta pucuk-pucuk pinus
Yang menari
Di antara seribu matahari

Damai agungmu nusantara
Hingga maha tak terkiralah
Siapa pun …
Yang pernah menciptamu



Friday, June 22, 2007
SEPANTASNYA
sepantasnya cinta yang sembunyi
dibalik lipatan geber hitam
tak tersentu oleh lampu dan tanganmu

sepantasnya luka yang kaupelihara
tak lazim dalam penyelamatan rahasia
yang selalu sia sia

dimana kau yang garang tak tunduk irama?
adakah hilang di pagi jelang
atau mati tertimpuk gulali

sepantasnya hidup diyakini
gunung tak musti lebih indah dari pantai

sepantasnya cinta dimengerti
dengung tak musti keluar
dari lobang serunai

aku di sini
setia hati
elang mata
tetap sunyi

menanti

kau
berharaplah akan kembali

malang, 27 mei 07






PALSU
kelembutan hati tak dapat kautipu
daya mata punya takaran
sudut bibir punya rumusan

kelembutan hati menangkap bibir dan mata
kelembutan hati menyingkap seribu rahasia

jangan terlampau percaya pada penampakan
toh tidak semua yang nampak adalah nyata
jangan terhasut nafsu penganggapan
roh dan badan bertolak dari sejati dan daya dusta

dan kelembutan hati selalu akan tahu
andai kau beri ia kesempatan
betapa hidup semu
dan mahahidup mengintai di balik lipatan

malang 17 juni 07






Tuesday, June 19, 2007
BERHENTILAH
berhentilah memusuhiku
karena sebenarnya yang kaumusuhi
adalah dirimu sndiri

kedengkian tumbuh dari tanah dendam
kausemaikan dengan dusta
bunga bunga fitnah
sedang seluruh upayamu itu akan sia sia
sebelum akhirnya mati
tertimbun kebohongan kbohonganmu sendiri

jadi berhentilah mmbenciku
karena yang sedang engkau musui
tak lain adalah dirimu sendiri

malang 18 juni 07



JANGAN TINGGALKAN AKU, MA
derum sunyi menindih
pekak di jiwa letih
suara asing berputar putar
menjerat leher lelaki kukuh

aku melihat mata mata kosong
hilir mudik di jalan jalan tandus
tak ada nyanyian angin
penat bertengger di pucuk pucuk kaktus
keras dan angkuh

ma, jangan tinggalkan aku
bukankah cinta punya jiwa
jika kuraih jubahkesetiaan
dan ragaku meronta
setidaknya aku masih melihatmu

kisah kisahmu mungkin tak banyak
tapi aku suka caramu bercerita
dan jika saja kauhadir
maka hari tak kan sesunyi ini

aku butuh senyummu, ma
yang ajarkan ketegaran laut
ang menahan segala musim
hingga dapat kulampaui apa saja
tanpa keluh

mlg 18 juni 07



Monday, May 28, 2007
LAKILAKI LEMBAH
ada neraka kecil terbit dari kilatan mata lakilaki itu. neraka yang disemukan lebatnya alang alang kepalsuan, dibalut selimut kabut kepuraan.

ia berdiri mengintai seperti burung nazar yang nafsu. maka ditipunya burung burung kecil yang terbang hinggap pada dahan dahan pohon lembah. ia sibak beberapa daun dan ranting untuk membuat celahan kecil agar matahari sinarnya menuju ke dalam. tapi lihat betapa cerdik ia. cahaya itu tak langsung mengarah ke lembah tergelap dimana kabut sebenarnya tak terlalu tebal, hingga jika sinar itu terlampau deras, maka pasti akan dapat benar benar menembusnya.

lakilaki itu mengerdipkan beberapa kali kelopak matanya. dan aku melihat kelebatan senyum yang teramat rahasia, dingin. senyum yang dibangun dari beratus jarum, tindis racun dan melata melata kecil yang tubuhnya senantiasa mengeluarkan lendir berbau aneh. aku mengendap pelan, menyiapkan segala sesuatunya demi tetap terjaga. lindungi aku dewi lembah, lindungi sang cinta.

malang, 25 juni 2007



TUJU ABADI
bumi tak imbang: masih
jiwa tak nyaman: jadi
lengah itu tragedi
waspada alamat akalbudi

eyang ronggowarsito, kinasih
bimbing aku tuju abadi
hantar ke Muhammad
biar kugamit jubahnya, kupeluk erat

silah terakhir kita bikin sajak
sebentar dunia sebelum lantak



MASJID DAN AKU
ya Allah, aku begitu ingin ketemu Kamu
tapi apa aku harus kembali ke mesjid?

mlg, 16 april 07

ya Alloah beri aku keberanian yang masuk akal
untuk memasuki halaman masjid ini,

sebab aku sungguh khawatir
ini bukan lagi Masjid-Mu

mlg, 16 april 07



POCONG
bapakibu kakakadik
kerabatku tercinta,
moga berkah hati dari segala keselamatan
milik kita senantiasa

kematianku biarlah biasa saja
seperti pula akan kalian
yakinlah

batasi airmata jangan boros,
sebab toh semua orang tahu
ini nasehat bijak orang tua

: hidup mati kehendakNya
usah keluh, usah susah

pesanku sederhana saja,
kubur aku dimana pula:
tak harus di kampung kita.

kafanku tak musti putih warnanya,
hijau kuning kelabu, terserahlah
asal tak sama kayak pocong sinetron indonesia

ngerilah...

malang, 16april07



Wednesday, March 14, 2007
SAJAK KELINGKING
(buat Ambalat)

hei, itu malaysia lagi
ayo kepalkan tangan
bukan dengan empat jari
tapi lima semua jumlahnya

hei, itu dia datang lagi
mau coba dompleng kita punya lengah
kita yang di prahara
sekalian tangkap saja lehernya

siapa dia...siapa dia...?!
biar siti nurhaliza idola kita
urusan wibawa
jangan ada tenggang tawar menawarnya...!



WAJAHMU NEGERI
lihat wajahmu, negeri
adakah si buruk rupa
yang tak sanggup hanya buat sekedar percaya diri

lihat wajahmu, negeri
yang tak tega menatap cermin
demi sadar mimpi dan kenyataan
yang bisa dibagi

rakyatmu nggak pede kalo lihat bule
sebab konon dibenaknya di sana gak ada kere

pejabatmu belagu tampil perlente
kalo terpojok
baru berebut sebutan sahabat si kere

ahh....sudah
lihat saja wajahmu, negeri
tak pula tampak malu meski pun rugi
tak hendak sedu nyata pun sedih...



Friday, February 09, 2007
TUGAS PAGI
Pintu subuh terbuka dan nampaklah rupa matahari
Semalaman aku berjaga di ladang ladang ubi
Di hati serangga tak menampakkan diri
Tapi bernyanyi lagu lagu tanpa melodi

Di saat tibalah berat kantuk di mata ini
Segera pula kurogoh buah buah kunci
Demi tunai tugas ini pagi:

bangunkan semua yang terlelap
sodori seteguk air dari kendi
penuhi harapan para pejalan
hingga akan terasa berkah mimpi
demi pagi yang letih.

JUANG
selamat berjuang, gerilyawan
jangan tinggalkan senjatamu
di tengah hutan

selipkan doa di pinggang kanan
dekat parang

bungkus kepala dengan kain merah
sebagai jimat keberanian

jangan tembak musuh yang berhikmat
kalau ada

bersihkan semua kawan yang berkhianat
kalau ada

Malang, 23 Januari '06

PEMUDA
hayo, bung!
jabat erat tangan kita
pemuda tak datang untuk kalah
tak lahir demi menyerah

jika seribu mimpi telah kita terbitkan menjadi matahari
maka akan ada sejuta pecundang yang 'kan datang untuk mencuri


jika perompak lari tunggang langgang saat menjarah
itu tandanya babakan lain penjarahan baru bermula

tapi janji hati yang kita selipkan di sela sela malam,
di buku diary dan nyanyian nyanyian
sepi akan menjaganya

kita hanya butuh kata percaya
bahwa darah merah saga
yang kita sediakan untuk cinta
adalah harapan hidup kaum papa
dalam nyanyian keringat nasib yang nestapa:
tiada ini sia sia!

hayo, bung!
jabat erat tangan kita
sebab pemuda tak lapang demi tak rela
lahir tuk jadikan api jaman tetap menyala
dan lahirkan lagi seribu pemuda
sebelum kita pun beranjak menjadi tua
hayo, bung!

Malang, 4 desember '06

YANG MENCARI DAN ABADI
sampai dimana langkah ini henti
sedang jantung tak kabar mati

hidup adalah penantian
meski abadi tak harus kepastian

tapi orang yang mencari
oleh sejarah dan langit akan diberkati
bahwa hidup adalah merjan merjan keniscayaan
ia abadi dengan harapan

dalam kebenaran orang lakukan kesalahan
tapi dalam ketersesatan
ia tak lakukan kebenaran sekalipun

dan betapa mahal harga kesadaran
sebab ia tak begitu saja keluar dari batu akik
jika tiba waktu untuk bergolak
lihatlah, ia angkat panji berkibaran

kau dengar deru nafasnya
kesabaran menopang di pundak kiri
keberanian menyanggah di pundak kanan
kalian berbaris rapi di belakang

saat panen tiba
ia kautinggalkan
menggigil dan mati kesepian

malang 29 juli 06



MENGUNJUNGI WAKTU
Hari ini aku sempatkan diri berkunjung ke istana sang waktu
Di gedungnya yang menjulang megah semua tampak lengang
Aku berdiri ragu


Sedikit kutepis selinap rasa takut dan terus kuseret kaki ke depan pintu
Di sana tiba-tiba aku disergap kengerian yang begitu menderak
Mendadak wajahku menjadi sedemikian pucat

Beku
Kutarik nafas dalam dan mengatupkannya di kelopak mata
Kucoba tetap melawan
Dan pada ruang sempit keberanian yang selintas menyeruak lekas-lekas kuseret kembali kakiku, sebelum akhirnya dentuman lonceng menahannya di hamparan kosong yang tak kumengerti

“ada apa!”
Dan suara itu terdengar seperti hempasan sihir yang memberhentikan segala-gala
Hingga kurasakan ada yang remuk
Pada permukaan jiwaku yang kusut

Betapa saat ini akurasakan kosmos menelanku bulat-bulat
Di kesepian
Apologi, fantasi dan bayang-bayang

Tak kuasa kubentur tatapnya
Sorot dingin yang seolah tanpa darah
Yang dari getarannya saja telah kutangkap semua jawab
atas semua pertanyaan

Dan sebelum kering sisa tekad dan keberanian
Segera aku berpamit
Pulang…

Selengkapnya!

PEMBALAP
seorang kawanku yang sangat menyukai motor lebih dari kecintaanya pada apapun sedemikian senangnya meluncurkan tubuh dengan kecepatan sangat tinggi. Suatu hari ia bercerita kepadaku bahwa telah dilihatnya wajah tuhan tepat pada lorong di antara berbagai benda bergerak cepat di setiap lintasan yang ia lalui. Dan sambungnya lagi,
seorang pembalap sebenarnya sudah akan kalah dalam setiap sirkuit pada setiap kali muncul di benaknya ketakutan akan mati.

MEMOAR KALA
Aku pernah bersaksi
Bahwa darah adalah ada
Membentuk partikel pelangi
Di sudut gumpalan daging
Menari-nari di sela hari


Pernah kuteriakkan
Kematian dan tuhan
Hingga kusisakan benang-benang hidup di putih tangan
Untuk kujeratkan di lehernya
hingga keluar kata-kata kebenaran

Aku pernah membisu
Hingga tanya menjadi tawa
Di kerongkongan kata ada yang terjerat,
Dan kini harus kusabdakan
Semua ada adalah ketiadaan
Dan kata adalah bisu
Di sanalah aku mencari
Dan memberi…

MATA AIR ADAM
memasuki keheningan mata air gunung gunung
hakekat menembus belantara api yang murung.
keberanian meranggas semak kemuskilan
adalah keniscayaan lahirnya titik api kkemungkinan

manusia hanyalah sosok miskin
di bawah semesta abadi
kehadirannya adalah hukuman bagi kekalahan yang pedih

jika adam mafhum atas kewajaran hati
maka kita adalah anak anak turunnya
adam membasuh muka di mata air itu
hawa menangis dalam rindu yang sakit
tatkala jasad habil rebah
seekor gagak telah tau sebuah berita:
mata air itu telah menjelma belantara api!

kau dihadapkan bentangan ruang yang dendam
berpaling bukanlah pilihan
hingga segeralah kautentukan
mana yang lebih muskil:
kematian manusia
ataukah abadi dalam kesementaraannya

SEPI
telah terbit cahaya
darimana asalnya
nyanyi debu irama debu
kemana melabuh

telah tenggelam ketenangan
jadi kenangan
nyayi rindu tentang rindu
irama syahdu

aku berpijak api
menjelajah keremangan hari
aku memantik sepi
membelah karang hiruk pikuk dunia mati

sepi

KAMPUNG NAGA
selamat datang di kampung naga
naga besar naga kecil sama saja
sama sama naga!

mata merah
nafas tajam aroma bara
gejolak darah

selamat datang di kampung naga
naga kecil apinya kecil
naga besar apinya besar
sama sama api!

mata merah hati nyala
jangan lelah memeluk cinta

PERAHU PERANG
matahari nanar di puncak
ketenangan jiwa yang murni

daun daun seperti membara
telaga mendidih airnya
angin berhembus menyengat
dan detik detikku terbakar


di kala sedang pekurku
dalam keheningan
maka ia menjadi api yang berkobar
dalam batinku tumbuh
serupa binatang buas
menyeringai dan mencakar

di saat sedang tegakku
di altar persaksian
maka ia menjadi kirapan gejolak
bendera bendera yang berkobar

dalam batinku labuh
selayak perahu perang tua
yang berjuang sendiri
di kejauhan samudra yang lepas
menerjang dan terhempas
silap di mata mercusuar

yang kucari adalah kebenaran
dan kebenaran ada di sini
aku tegak dan bertahan
diam dan tenang

dan jika kausangka yang berlaku
adalah kekosongan dan sia sia
maka dengarkanlah:
keyakinan tidaklah kosong
dan kebenaran bukanlah sia sia!

matahari boleh saja tetap nanar
daun daun yang membara
telaga mendidih dan angin menyengat hembusnya
dan jasadku bisa saja hangus dan terkapar
tapi ketenangan jiwa
adalah pantulan dari ruh
ia akan terlahir kembali
hingga beribu kali

api akan tetap berkobar
menjadi nafas bagi binatang buas
yang terus menyeringai dan mencakar

bendera akan terus berkibar
menjadi petanda bagi perahu perang tua
yang terus hidup dan melawan

karena binatang buasku
adalah milik belantara hutan yang murni
sebab perahu perang tuaku
adalah penjaga kehormatan bagi hidup yang sejati

dan di kala senja hari menepi
binatang buasku menuju jalan pantai
di sana perahu perang tua telah menanti
pulang ke peluk ibu kebenaran
tenang dan tentram

SATU ZAMAN
seribu kata gemerlap
dan kita lelap

sribu suara menguap
dan nada nada luap

ini pembicaraan tentang satu zaman
masa dimana tak terlintas
bayangan di sisi sisi jalan

kemana perginya kucing hitam
yang biasa bersandaran
pada pokok itu pohon asam
tak kulihat cahaya matanya
tak kudengar nyanyi meongnya

kata orang bijak manjur
dan mujarab maksudnya
hingga hari ini sepi
sunyi

kata kata gemerlap
menguasai ruang
dan tak cepat mengendap
lelap
meluap

DI JELANG KERETA
kereta hampir saja tiba
dan hatiku belum juga beranjak tenang
adakah aku menunggunya?

selalu malam hari
adalah saat saat yang kubayar dengan gigil
sedang pagi menyimpan taman
dan burung burung kecil warna warni
untuk dirinya sendiri

akuhiasi kamarku dengan bunga bunga
sambil berharap dapat berdamai dengan pagi

adakah ini pengkhianatan
sementara malam telah menghiburku
dengan lagu lagu serangga
dibelainya aku tentang kisah kepahlawanan
sejati dan keabadian

bilakah aku menunggu kereta
demi reda setiap gejolak
dan memagari mimpi mimpi mata
pada buhul buhul kesementaraan

akan dayakah aku menyangga kekalahan
dalam melawan setiap bayangan

SELIMUT
serat benang sungsang
sayap burung yang bercumbu dengan angin
jatuh dan tertahan dahan dan daun daun
di antara belantara yang keramat dan dingin
aku sibakkan rambut dunia yang kusam
gerainya telah sampai ke pundak

dan perlahan
kusulam robekan besar ini
dengan cermat dan teliti
demi mimpi tidur
malam nanti

JIWA YANG MELAWAN
jiwa yang yang diasah oleh jalan
tegak dan melawan
langkah yang dibimbing jalan
tak pernah tinggalkan jalan

ia tak asing dengan segala dusta
mafhum pada setiap lagu pura pura
orang yang dikalahkan
dan menyadari ketakberdayaan
adalah orang yang sedang mendadarkan
hikmah kekalahannya
menjadi tetes darah bagi jalan hidup
ia singsing baju perjungan
ia songsong matahari kemenangan

orang yang terus melawan
adalah ia yang maklum
akan segala resiko perlawanannya

orang yang terus melawan
adalah ia yang mafhum
akan setiap resiko kesadarannya

orang yang terus melawan
adalah jiwa abadi bagi jalan
anak kandung dari semangat
semua zaman

KITA KENYATAAN
jika anggapmu kau menang
berilah sekedar alasan
agar dapat kuturunkan bendera ini
dari tiangnya

jika anggapmu aku menyerah
berilah sekedar penjelasan
agar dapat kuhapus jelaga

jalan aral membentang, kawan
puisi puisi yang demam dan kecewa
membukit di simpang simpang
aku menjadi pacar bagi setiap pertanyaan,
adakah buncah perjalanan
adalah titik api yang sia sia!

kita adalah kenyataan!

DI IRAMA BURU
berjalan dalam irama buru
maka selayak berebut langit
satu matahari menjadi keniscayaan

bicaralah padaku
usah diam
biar kebenaran hadir
untuk tak pejam
dan lahirkan lagi kebenaran
bagi makna hidup
yang tak boleh kusam

KUDA PUTIH
merah padam jiwa meranggas luka
biru lebam memantik bara
ia kuda putih yang elok
gagah menentang irama

ketika malam menjadi persinggahan
bagi setiap duka dan pura pura
seluruh bintang takzim
menunduk muka

kuda putih melompat di semak
dan kelelawar menyingkiri daun daun
ia mafhum pada kemalangan
meski luka tetap menjadi kekasih malam
tapi siang akan hidupkan setiap butir mimpi
pula harapan

ia kuda putih yang jantan

RAPUHKAH

terbujur jiwa yang rindu
rebah lesu
di dada waktu

rapuhkah ia?
kenapa tak anjak menyerah
sedang hari hari amarah

tapi rindu
jadikan harap demi ketemu
dengan menanti
atau memburu

belum serah
kenang amarah

rapuhkah itu jiwa?

BENDERA
(catatan menjelang tidur)
kawan, kaulihat betapa bendera ini sudah
kusam. dan kalau sudah seperti itu,
semakin tak nyaman pula bagi mata untuk
hendak memandang . hingga semakin
gegabahlah kita bertindak meski tanpa
harus seserve betapa bisa saja itu
salah....berbahaya. bahkan.


usai mandi kita kain handukkan ia.
rampung makan kita lap tangan hingga
semua noda berpindah.jika sudah sekotor
itu jadinya bendera kita, kawan, betapa
semakin malas kita demi mau sekedar
merasa memiliki.alih alih berbangga diri.

merah bukan hanya jiwa dan putih tak
hanya suci
tapi menjadikannya berarti tak semudah
membuat puisi

kawan, kaudengar betapa gemuruh ini
lahir dari sepi. terdesak oleh hawa
panas dari siaran radio dan televisi.
kemiskinan sudah lama jadi barang
dagangan. bahkan drama renungan dan
jerit mlam seperti waktu kemah kita
bersama dulu, saat ini telah bisa lho
meraup keuntungan dengan rating tinggi.
mengetuk hati seolah olah,sementara
ranking penderitaan makin tak terbilang
hebatnya.

orang tua dan anak anak kita yang buntu
sudah semakin pintar bermimpi dengan
pintas. sementara di saat yang sama para
juragan tiba tiba ramai berdendang,
lantaran merasa telah mampu membuat bola
salju dan terobosan yang mereka sebut
brilian:kecerdasan mmbaca peluang.
satukan medan bisnis, ongkos sosial dan
hiburan.
kemudian dengan anggunnya mereka duduk
di atas sebuah trap marmer, mengapit
pundi pundi emas yang mengalir jumlahnya.
sedangkan kita melongo, kadang ikut
tertawa, entah apa maksudnya.

ini hanyalah sedikit saja, kawan, noktah
jingga bendera kita yang kusam. besuk
malam, menjelang tidur kita bertemu lagi
di tempat ini. saat itu, giliranmu
menceritakan sebentuk cerita lagi yang
lain, dan bagianku pula mencatatnya di
diary, persis seperti yang sedang
kaulakukan sekarang ini. selamat tidur,
kawan!

semoga masih bisa mimpi indah. biar
untuk sementra, itu saja yang tersisa..

malang 12 juli 05

DI PASAR
di pasar, pagi hari sebelum kita terjaga dari lelap mimpi
di pasar, pagi hari sebelum kita membasuh muka dari sepi

ada api yang berkobar di tengah hiruk pikuk dan kerumunan
api besar dari bara juang milik kita yang bisa membakar

api hidup orang orang tua yang masih menyekam keberanian bertahan
menjajakan harapan dengan senyum pualam
orang orang tua yang menjaga menjilati dadanya
untuk ia wariskan pada putra putri tercintanya, kelak

di pasar, mata seorang remaja cekatan dan gesit
menyelinap di antara wajah wajah dan riuhan suara
di pasar, mata cantik seorang gadis tak lekang
menguntit tingkah sang remaja.
di bibirnya terbit matahari, meski sederhana

ada api yang yang berkobar di tengah hiruk pikuk
api yang senantiasa membakar
menjaga hati hati gadisku dan gesit mata sang remaja
untuk selalu tumbuh memeluk harapan orang orang tua
yang tersenyum pualam :

memberkati hidup dengan arti
di negeri yang masih berjantung nurani

malang, 17 juli 05

AKU PERNAH SENDIRIAN, KAWAN
aku pernah sendirian, kawan
berjuta menit aku terpuruk di sini. Menyetubuhi keberadaan sendiri. Meloncat dari kata ke kata, untuk satu suku yang belum terselesaikan. Melambai-lambai. Langkah ini terkoyak tajamnya pisau. Menjadi hiasan di raga dalam hari. Aku sendirian. Kucoba menghitung helai helai sayapku yang berguguran diterpa racun menjadi kata-kata. sayap-sayap itu menghitam pekat.


Darah dan airmata menjadi kereta. Karena mereka yang kukenal berebut menciumi dan menjilati seluruh luka di tubuhku.

Yah, aku pernah sendirian kawan. Melang-lang di atmosfir kata dan sebentuk dunia tanpa suara. Menjerat dan mengumpulkan kata demi kata, menenunnya untuk sebuah makna, bukan untuk kematian dan keberadaan seperti yang mereka definisikan. Karena kukira itulah tugasku di hidup ini. Akulah nabinya. Kalau mereka lihat aku berada di ketakberartian yang kosong, kukatakan, mereka salah atau kalau tidak pastilah sedang berbohong. Sebab kesia-siaan yang mereka pahami sebetulnya perangkap yang telah menjerat diri mereka sendiri, hingga tersia-siakanlah mereka dengan penglihatannya itu.

Aku tak pernah pergi, karena kata-kata yang kurangkai belum membentuk bait puisi yang utuh. Jadi aku tak pernah mati, sebab bisa jadi berkali kematianku adalah kelahiranku untuk yang kesekian kali pula. Aku tak pernah tidur karena aku telah atasi waktu.

Aku pernah sendiri, kawan
Mengisi laboratorium kata-kata
Dalam ruang pengap yang dipenuhi mimpi dan janji-janji.

Malang, 26 desember 2003

KALAU KALIAN TERTAWA
kalau kalian tertawa, aku senang sekali
sebab aku melihat kalian benar benar lucu

kalian seperti ular-ular kecil yang menggemaskan
selalu mendesis-desis dan menjulurkan lidah

tapi kadang kalian juga berubah menjadi buaya
yang bermoncongkan selayak serigala
tapi taring kalian juga tampak lucu
karena kepala buaya dengan moncong serigala itu terlihat aneh

siang malam kalian berteriak-teriak seperti perumus jaman
dan penggerak matahari
padahal kalian hanyalah mainan angin dan hujan

jadi sudahlah
biasa saja
cukup sadari saja siapa kita

Malang, 22 juni 2000

ANJING - KUCING
Anjing suka ngomong sembarang
Karena dia memang anjing
Anjing suka kencing sembarang
Karena dia memang anjing
Dia suka tak ambil pusing
Sebab dia memang tak pernah pusing

Kucing suka mengendus pantat kucing lain
Kucing…juga suka mengambil jatah makan kucing lain
Tak peduli teman kelaparan
Masa bodoh kerabat kesakitan

Anjing dan kucing paling suka tampak sibuk
Padahal mereka tak suka sibuk
Anjing dan kucing suka berebut tempat tidur
Padahal mereka tak suka tidur

Yah, namanya saja juga anjing
Kucing pastilah tetap kucing


Malang, 15 juni 2000

PEMBUAL
Kau selalu datang ke sini dengan bualanmu. Dan kau selalu bercerita, bahwa kau telah bertemu dengan pembual-pembual yang lainnya.
Katamu, mereka selalu pergi kemana-mana dengan mengendarai awan putih di atas air ludah yang selalu berbau harum.

Dan katamu juga, mereka memakai sepatu dari jiwa-jiwa sahabatnya.
Mereka selalu bernyanyi, mendendangkan lagu-lagu derita karibnya.

Kau katakan lagi, bahwa kau ke sini datang dengan mengendarai ular berkepala bayi manusia.
Katamu, suatu saat ular ini akan tumbuh menjadi seekor naga besar tanpa taring, yang akan mengoyak moyak sejarah manusia.
Dari matanya yang bening menyorot tajam sinar yang lebih terang dari matahari,
dan hembusan nafasnya adalah kematian.
Kematian seluruh kehidupan; Hidupku, hidupmu, hidup kita!
Kau mati, aku mati, kita semua mati!
Hingga dapat kukatakan di hari upacara penguburanku,
Setidaknya akulah yang membesarkan ia.

Kemudian kau pergi begitu saja. Ah…

Malang, 22 juni 2000

BERINGIN
Dan malam membawa angin
Menancap luka di pohon beringin
Dendam marah padamu dingin
Beku tubuh di air asin

Sudahlah jangan berlagak jadi pesakitan
Semua orang tahu
Siapa kamu
Jadi jangan ajari aku
Tentang rasa sakit dan bau

Kini aku hanya ingin di sini
Menyanyikan laguku,

Dan malam membawa angin
Menancap luka di pohon beringin
Dendam marah padamu dingin
Beku tubuh di air asin

Malang, 7 agust 2004

BELENGGU
Badannya kurus kering
Seperti jiwanya
Sekering kampungnya
Yang kerontang disengat kemarau

Malam telah berlalu
Pagi yang bersinar menyambutnya
Dengan kicau-kicau
Dengan harapan
Hari esok yang menuai mimpi dan keberkahan

Tapi pemuda itu tampak makin luruh
Raut mukanya kusam
Gairahnya kusut
Dan matanya gelap menatap cahaya
Udara dirasakannya pengap
Cerah tak berarti apa-apa hari itu

Hidupnya dipenuhi tekanan
Hari-harinya adalah jadwal
Dan program-program picisan
Otaknya dijejali ritual-ritual membosankan

Selintas dia meronta
Berusaha memberontak
Tapi belenggu itu rupanya terlalu kuat
Untuk kedua belah t6angannya yang cacat
Nafasnya memburu … tersengal sengal
Kelopaknya berkaca;
“Aku kalah!”
Teriakan itu tiba-tiba saja terdengar dan mengankat dagunya
Yang cemang-cemong

Dagunya terangkat menengadah
Dan kata-kata yang tidak dipikirkannya terkulai lemah pada
Suara yang seolah tersekat … tersendat … lunglai …
Mengucur melalui bibirnya yang pecah pecah :

Tuhan, telah kau anugerahkan rahmatmu atas kampung ini
Telah Kau hadiahkan kemerdekaan sebagai balasan atas derita juang kami
Tapi adakah ini berarti …

Coba engkau lihat, Tuhan
Pandangilah dalam-dalam
Haruskah kami syukuri kebebasan ini
Jika kami sendiri masih terus merintih-rintih di sini
Pada waktu yang konon sudah pagi
Masih haruskah kami berterima kasih
Atas apa yang bukan milik kami

Kesabaran itu sudah lama lenyap
Begitupun dengan kemarahan kami
Yang beberapa waktu lalu
Mesih aku temui nongkrong di ubun-ubun kami
Semua sudah pergi
Meninggalkan badan wadag
Yang hanya menyisakan tulang belulang ini

Kemerdekaan?

Jadi tak bolehkah kami menyumpah nyumpah
atas apa yang kami anggap omong kosong
Yang senyatanya memang hanya dongeng samar tanpa ujung …
definisi-definisi adiluhung yang dipetieskan
dan digantikan dengan sekandal dan penggusuran

Sebab kemerdekaan mungkin hanya peluang
Dan para pejabat yang berpesta pora
Bersama tuan-tuan tanah
Tak ada artinya apa-apa
Tak seorangpun dapat mengertinya
Tidak juga kami
Yang terasing di rumah sendiri

Ada butir-butir bening yang mulai berjatuhan
Matanya dihantam banjir
Lidahnya membeku
Tenggorokannya tiba tiba mampat
Tersekat sesuatu yang tidak dipahaminya

Tuhan, jika kemarin datang berbagai jenis binatang buas ke rumah kami,
dan menginjak-injak sawah ladang kami Maka telah Kau saksikan
Sejarah telah kami aliri anyir darah
Upacara pengorbanan sudah menghanguskan segalanya

Tapi ini sungguh diluar perhitungan, Tuhan
Matahari belum lagi sepenggalahan
Ketika beberapa teman kami tiba-tiba sudah memiliki taring dan cula
Cukup lama mereka nampak mengitari halaman rumah-rumah kami
dan meneteskan air liur di setiap tempat yang dilalui
Tebaklah, Tuhan
Kami harus berbuat apa

Bisa jadi kami ini memang terlalu sentimentil … baik hati ..
kelewat penyayang
Sehingga sesuatu yang harusnya kami singkirkan buru-buru
mentah lantaran ingatan kami akan berharganya
menyayangi saudara, paling tidak itulah yang kami pelajari
dari orang-orang tua di kampong kami

Ah, andai saja mereka adalah sejenis binatang buas
seperti dulu kami pernah menghalau
Kami takkan semenderita ini
Jika pun untuk itu kami harus mati
Kami akan mati dengan tenang …

Mata pemuda itu masih membasah
Ada sebersit senyum di bibirnya
Seperti harapan
Harapan yang kering …
Seperti kampungnya yang kerontang
Disengat kemarau

[Lamongan, 12 Desember 1997]



BILIK
Bilik ini
Penuh asap rokok
Dedaunan terbakar
Menyergap angkasa
Ada yang terjepit;
Malam ini
Aku tak bisa apa-apa!


Kepalaku bocor
Tumpahan otakku semburat
Tanah tanah terbasahi
Mengalir di sungai
Menembus padas meyusur rawa dan ngarai
Lalu hinggap di ranting kering sejarah
Hingga tak ada lagi aku
Yang bermimpi tentang mayapada

Asaku luruh
Badanku pecah berkeping-keping
Musim dingin
Jaket tua
Padanya hanya
Kusisakan kesah

Beku
Aku nyanyikan lagu ini untukmu
Yang sedang asyik bermain petak umpet
Juga padamu
Yang digilas pahit nasib:
Kuhadirkan di hadapanmu jeritan
Agar kamu percaya;
Bilik ini membuatku sesak!

Dan setidaknya malam ini
Biarlah sejenak aku menepi
Tinggalkan gugusan mimpi
Yang sedang bermimpi
Tentang impian pagi hari

( malang, 6 febroari 2001 )

MENGUNJUNGI IBU
Pada pertengahan hari yang kubanjiri dengan kebencian, air susu ibuku yang kujadikan tombak dan parang seketika menolak untuk kupakai menyerang. Padahal tubuhku sendiri sudah basah kuyup oleh darah segar, dan keringatku memancar layaknya mata air yang tak beranjak kering.

Lalu aku berangkat menemuimu untuk bertanya tentang semua kemelut ini. Semua kepahitan yang tak kumengerti,

“Kenapa justru aku yang menjadi tawanan dalam peperangan ini?
Bukankah setiap gerakku adalah pantulan dari setiap peristiwa masa lalu.
Yang pernah kupetik di ladang-ladang buku dan musium?
Apa hanya sekedar karena aku terlahir di musim ini, sehingga engkau pun kurasakan begitu jauh dan tampak sedemikian dekat dengan mereka?

Ibu, tolonglah aku yang mestinya memang tak mengeluhkan hal ini kepadamu. sebab setiap pertanyaan itu sebenarnya sudah lama telah kujawab sendiri, yang kemudian justru membuatku terpelanting dalam kekosongan ini. Dan apalagi aku pun pasti tahu bahwa engkau tak ‘kan pernah menjawabnya, tIDak kan pernah, meski hanya satu kalimat saja.

Tapi cobalah sedikit engkau mengalah,ibu. Kalaupun bukan dukungan, setidaknya aku butuh keyakinan! Dan jika tak lagi kuhisap air susumu, itu karena memang aku sudah terlalu mabuk.

Sekarang biarkanlah putramu ini menyandarkan kepala barang sejenak. Lalu engkau belailah rambutku, sekali saja. Dan bersama itu ceritakanlah kembali dongeng yang pernah engkau kisahkan pada setiap kali aku hendak tidur di setiap malamnya, di masa kecilku dulu”.

( Malang, 9 September 2003 )

KEPADA SAHABAT
Sahabat, ketika pagi terbit, saat itu pula aku sudah terbangun. Hanya saja aku memang tidak terburu beranjak, berusaha mengingat ingat lagi mimpi yang barusan saja terjadi, mereka reka adakah ia pantulan dari segala hal yang teralami serta jadi pengingat dan alasan bagi ku bangun hari ini. Ataukah mimpi adalah mimpi begitu saja...terpotong atau berdiri sendiri, berupa makhluk ganjil yang hidup di dunia bawah sadar kita dan tak hendak berurusan dengan hajat diri, di mana di dalamnya menyelubung Id dan super ego yang tak henti saling tarik dan bertikai.


Sahabat, ketika pagi terbit, karenanya aku tak bisa begitu saja beranjak demi mendamaikan antara aku dan diriku sendiri serta membuat semacam kesepakatan – setidaknya untuk sementara – bahwa apapun yang sedang berlaku adalah karena hidup tumbuh untuk disikapi, dan kita pun tumbuh menjadi kekuatan inti bagi kesadaran melakukan dan berarti.

Segala hal yang terjadi, terasa pahit atau manis, adalah citra citra yang memang niscaya disebabkan putar giling hati dan pikiran serta persentuhannya yang secara langsung kepada dunia luar yang sebenarnya tak an sich luar itu. Karena citra adalah milik kita sendiri, hadir dalam berbagai bentuknya, meski pada akhirnya akan tetap mewujud sebagai wakil dari spirit kesadaran terakhir yang konon telah kita miliki, kita pilih!

Sampai di sinilah aku berkalinya pula lantas dihasut oleh sebuah dorongan asing yang anehnya justru terasa begitu dekat kukenali. Setiap kali ia hadir, aku seperti dikejar sebuah kerinduan yang entah: mengapa tak berlaku seperti layaknya air. Mengalir dan lalu singgah atau bahkan berlabuh di tempat tempat yang ditakdirkan mengambil dan memilikinya?

Ah, serangan semacam ini biasanya sungguh mematikan. Tapi tahukah kamu, bahwa ternyata aku juga masih bertingkah layaknya seorang hero yang menguasai daerah pusat ketegangan,

“Aku bukanlah air!”

kemudian terdengar lagi menyusul suara lain dalam diriku menimpali dengan sinis,

“Lalu apakah gerangan kau ini? Batu?!”

Terkadang tak tahan aku melihat pertengkaran seperti ini. Apakah akan ada manfaatnya? Tapi begitulah, banyak hal naif terjadi – sesuatu yang pasti kaupahami. Terkadang pula ia membutuhkan jawaban ketus dan tanpa hati. Tapi di saat itu kita lakukan, buru buru pula rupa kenyataan itu membentur jidat dan melancarkan kritik pedas, bukankah semua yang berlangsung sudah naif sejak dari awalnya?! Nah, adakah jawaban semacam itu muncul sebagai manifest kesadaran pilihan ataukah memang melecut begitu saja sebagai reaksi tak terkontrol, sikap acuh tak acuh dan bahkan penenggelaman diri dalam stream yang kiranya paling mungkin menjadikan kita merasa tentram demi menautkan diri?

Ya. Begitu banyak tampaknya. Hal hal datang menghampiri, silih berganti, hingga tak jarang pula membuatku merasa seperti masih sedang berada dalam mimpi. Itulah kenapa juga seringnya aku merasa terlalu lama memikirkannya hingga tak sadar hari benar benar sudah terlampau terang untuk disebut pagi, persis seperti sekarang ini. Padahal hari ini aku sudah ada janji, menemuimu di tempat biasa seraya terus bertanya, adakah arti juga hadir di antara persahabatan ini?

Malang, 9 November 2005

NURANI
Seperti katamu, pada suatu hari aku menyelesaikan tugas tugas ini. Tugas tugas yang penuh cacat bagi sementara kaum kita. Dunia telah menelan sejarahnya sendiri. Menjadi sebuah kota yang teramat terbuka. Kau aku dan mereka semua bisa saling membuka keburukan atau pamer kemulyaan. Tapi rahasia tetap bersembunyi dalam lorong lorongnya sendiri. Yah, lihatlah betapa banyak lorong lorong itu. Dingin dan lembab, batu batunya licin dan dipenuhi serangga yang akan menggigit jika mereka terinjak. Di kedalamannya, kita takkan tahan bernafas hanya melalui hidung, tapi musti membuka mulut, melebarkan kerja paru paru. Dan apakah yang hendak terasa di sana? Ialah sengatan gas yang mencemaskan, basah dan lantas menguap, mempercepat pacuan jantung kita.

Lorong lorong ini, ia memiliki arah dan celah celah lobang perantara yang banyak pula bercabang ke setiap arah. Saling berkelindan hingga bertemu sebagai suatu rangkaian lorong lorong. Benar, itu lorong yang sama. Lorong dimana tersembunyi rahasia rahasia kita. Apakah yang kita sembunyikan di sana, tahukah kamu? Hati nurani kita. Benar. Cahaya yang mustinya kita jadikan penuntun dalam membuka map semesta. Apakah kita menyembunyikannya di sana, di lorong lorong itu? Tidak. Tidak hanya menyembunyikan. Tapi memenjarakannya, sayangku...mengasingkan kebenaran yang sudah dianugerahkan dengan lembut dan penuh kepercayaan sebagai bekal kita untuk kembali pulang. Ataukah kita yang memang tidak menginginkan kepulangan itu? Tapi mungkinkah? Toh kepemilikan kita atas diri sendiri pun hanya sebatas kesemestaan lahir saat ini, bermula kelahiran hingga berujung pada kematian. Sesudahnya kita tak berpaut lagi dengan kehendak kehendak. Kita akan kembali pada hakekat ruhaniah kita. Sesuatu yang kita namakan Loji, Linh atau Abdur Rahman atau Viola sekarang ini mungkin di saat itu kita tak mengenalinya lagi. Loji itu hanya petanda saja dari sebuah ruh yang dilahirkan, dibadaniahkan selengkap yang kita punya saat ini. Diberi kehendak, nafsu, untuk melintasi sebuah mistar yang masih gelap di depan. Tapi ruh tak pernah lenyap, ialah yang akan abadi pada kurunnya, kembali pulang di saat yang juga gelap kita pandang lantaran mistar selalu saja gelap di depan. Tapi bukankah kita sama sama setuju bahwa itu akan terjadi? Lantas apa gerangan yang terjadi dengan ruh ruh itu? Kita kemanakan cahaya ruhani itu? Semestinya Kau tahu jawabnya, sayangku...

Yah, aku telah selesaikan tugas tugas ini, tapi belum seluruhnya. Aku bahkan baru memulai....


Malang, 28 febr ‘05

KECAMUK dan MIMPIKU
Apa sebenarnya yang sedang berkecamuk dalam pikiran pikiranku ini; vitalitas, energi yang berlebih atau hanya ilusi ilusi tua yang cerai berai dan tak kunjung dapat dipertemukan kembali setelah gagal mencapai visinya yang lebih baru? Absurd! Sukar didefinisikan. Atau jangan jangan ini semacam ungkapan rendah diri, ketakberdayaan sebelum mencapai titik pasrah?


Aku tentu saja berharap semua baik baik saja. Setiap beban pikiran berakar dari kenyataan kenyataan yang muncul di hadapan. Yang nyata -- entah manis atau menyakitkan. Menyebalkan bahkan.

Tapi bukankah ada sisi pada setiap sisi? Arah kiri kanan pada kiri atau atas bawah pada kanan. Apa yang dianggap baik, berisi pula dua kebenaran. Dan kebenaran baik - buruk terbelah lagi dalam dimensi dimensi yang berlawanan, entah sampai berapa kali. Lantas bagaimana menemukan titik paling ‘sahih’ dari sekian pilihan yang setiap saat dapat berubah, tapi tak pernah bergeser sedikitpun sebagai kenyataan? Aku terjebak di tengah tengahnya! Dan sementara aku menyadari bahwa seluruh kecamuk yang terjadi tak akan mungkin muncul dengan mengingkari picu yang telah ditekan entah oleh sebab dan alasan apa. Letupan terjadi karena terjadi pula perbenturan antara kenyataan dengan serupa materi yang disemburkan melalui larasnya, dan pastilah itu mimpiku!

Mimpi? memang sebentuk apakah mimpiku itu?


Jombang, 16 November 2005

SEBUAH SORE
Sebuah sore yang cerah, bersinar. Tidak seperti sore sore biasa, yang seharusnya. Aku bersandar pada dinding kayu besar yang hanya bertumpukan balok kecil. Di depanku sebuah meja yang juga terbuat dari balok, sudut kanannya menempel badan pohon ceri yang tak begitu besar.


Sendirian saja. Jiwaku terasa tak diam. Meliuk, melingkar lingkar dan lantas lenyap begitu saja dan berganti dengan lingkar lingkar baru yang susul menyusul, seperti juga asap rokok ini. Mengapa tak ambrol begitu saja seluruh isi kepala. Carut marut yang meranggas seperti setan yang sedang tertawa tawa, mengitari seluruh penjuru tanpa dapat tertangkap wujudnya. Begitu riuh dalam keheningan sebelum mengendap. Gelisah macam apa yang mengumbara? Amarah sekobar apa yang tak hilang segera; menyala dengan sorongan gaib yang tak tertunda, tak bersudah.

Ini aku yang dikepung hidupkah atau justru sedang terlampau pongah menentangnya. Mengincar rupa buruk dunia seperti membenamkan diri dalam bara. Jelas jelas aku terbakar. Rasa panas itu pasti, lepuh lepuh di kulit itu juga perih. Tapi soalnya adalah kenapa aku justru menetap ada dalam situasi tak beruntung ini. Adakah ia buah pilihan hidup itu atau malah kekalahan tragis yang bahkan menggelikan? Adakah ini benar benar aku sadari atau jangan jangan merupakan gejala sakit jiwa.

Tak pelak aku adalah milik dunia sedari kali pertamanya aku lahir. Dan dunia dipermilikkan kepadaku saat aku sudah mulai mengeja bentuk bumi, letak langit, bias cahaya, harum daun daun dan intensitas ombak. Juga perempuan perempuan, keluarga, handai taulan dan sanak tetangga. Aku mulai berfikir tentang apa yang aku nisbikan sebagai milik. Milik yang menjadikanku harus terus menata ulang definisi definisi yang cerai berai setelah dengan susah payah kususun. Karena tampaknya aku sendiri semakin tersadar betapa dunia juga kepunyaan yang lain, dan karenanya juga dunia berhak atas mereka.

Dalam hal ini kami sepadan, meski tak sekonyong konyong serupa. Aku bisa membahayakan diriku dan mereka dapat mengambil banyak. Dunia bermurah hati pada siapa saja. Tapi setiap kali kami mendapati kecenderungan dan tabiat yang berbeda. Muncullah para penjarah, mengambil apa saja yang tersedia, bahkan yang ada. Apa saja. Aku juga melihatnya. Tapi apa hendak kata; kami terang berbeda! Mereka mampu berbuat sesuatu yang kami tak bisa, bukan saja lantaran ketidaksamaan daya dan budi, tapi juga sebab hati mungkin terbuat dari materi dari susunan zat zat yang memang berbeda.

Sementara tiba tiba aku temui diriku seperti orang kalah berlaga. Pecundang murung yang pulang tanpa menjinjing harta maupun senjata, lebih lebih kalungan bunga. Hanya seorang kalah yang payah! Berakhir di sebuah balok kecil, di bawah pohon ceri di sebuah sore yang cerah. Jadi apa benar ini babak reruntuhan ataukah sebuah helatan upara perjanjian berupa fase kecil demi dimulainya epos besar yang lain? Entahlah, asap rokok ini pun masih saja tak diam, meliuk, melingkar lingkar dan lantas lenyap. Terus saja begitu, dan begitu berkali kurasa.

Jombang, 16 November 05

MIMPI KELAMMU
aku hidup dalam kesendirian yang dalam
kesendirian yang sedimikian gegap dipenuhi kisah kisahmu yang kelam
berpuluh puluh bintang aku rangkum dalam selimut malam
dan kujahit sisi sisinya dengan batu batu
kutempatkan di bawah kepala.


aku bermimpi tentang suatu masa
bukan pagi atau senja
bukan pula malam atau siang
bagiku matahari tak lagi jadi petanda
lantaran aku sendiri sudah diam bersamanya

kita bertemu kelak di sana
masa dimana kisah kisahmu terbuka
kau yang bicara!
melukis pagi dan senja
juga malam dan siang
aku mendengarkanmu seraya merebahkan diri
dengan harapan agar kau mengerti
betapa kelam kisah kisahmu itu
hingga mampu menenggelamkanku
dalam kesendirian yang dalam

Malang, 5 maret 2006

PETISI BURUNG BURUNG
Petisi ini lahir dari pertemuan burung burung
Dan hutan tergetar oleh nyanyiannya
Ketika restu langit telah pasti tiba
Burung burung kembali ke sarangnya


Matahari telah di curi dari rumah kami
Bulan pula tak pernah purnama lagi
Segera siapkan bendera kita
Besok tumpah kita serbu cakrawala

Siapa akan berjaga malam ini
Burung hantu mengerdipkan matanya yang lebar
Di mana alamat kelelawar sang penghuni sunyi
Sudah lama kepaknya tak terdengar

Petisi ini sudah ditandatangani
Burung burung telah siap menyongsong hari
Malam ini dalam hati kita berjanji
Kelak terbang merebut mimpi

Siapa tinggal
Siapa akan mati
Aku memilih bergabung
Menjadi rajawali

Malang, 11 Maret 06

HYMNE atas MARS
Sebegitu dalamnya resah ini, hingga menenggelamkan. Rusuh terasa batin dalam bening kesadaran. Aku berarak dengan jalan jalan, dengan ngarai, sungi kecil sejuk dan lautan. Aku nyanyikan di sepanjang jalan mars tentang kisah keberanian, meski di sini terdengar seperti hymne yang penuh sayatan. Aku pastikan cita cita tentang hari depan, hari depan yang kapan, katanya. Aku berjanji tentang harapan. Harapan serupa apa, cibirnya.



Sebegitu dalamnya kegembiraan ini, hingga memabukkan. Orang orang hadir dalam pesta perjamuan, dihidangi berbagai minuman dan makanan. Gadis gadis pelayannya molek dengan kain baju berrenda sulaman bunga warna ungu, mengerling setiap saat dengan palsu. Aku duduk di tonjolan tanah berbatu, tak jauh dari situ. Dengan jalan jalan, ngarai, sungai sejuk dan lautan. Memandang dengan hening, dengan resahku yang sedalam ilusi mereka akan keabadian. Hidup dan kehidupan betapa sungguh tak sepadan.

Malang, 11 Maret 05

MANUSIA SENTOSA
Meringkik kuda manusia sentosa
Kakinya mendepak batu batu
Kemudian terangkat
Manusia sentosa mengangkat pula pedangnya,
Mengacungkan!
Terlempar dari punggung kuda ia dan lebam
Direjam batu batu


Manusia sentosa memburu hidupnya
Mempertaruhkan yang tersisa
Tangannya yang berpedang lunglai
Tubuhnya terkulai

: entah malam akan sembunyikan lukanya
buat ia sebentar terjaga!


MANIFESTO LELAKI
Berlari kencang aku seorang remaja
Di saat malam dan langit berpendar pendar
Citra yang kusemangati dengan kembang api
Di kala sebayaku tertidur dilelap mimpi


Maka aku menolak setiap mimpi
Jika ia adalah merjan merjan belantara yang tak pasti
Selimut rahasia tak mudah ditelanjangi
Dan akan kuasah taring atas nama pagi

tidakkah kau ingin tidur, sayang?

Aku tak tunduk pada kesiasiaan
Tidur adalah jedah peristirahatan
Dan bukan penyerahan diri pada kegilaan

tapi hari sudah teramat larut malam!

Malam dan siang apa beda
Ini tetap kamar sempit yang sama
Matahari tak tidur juga bumi
Aku adalah poros bagi diri;
Pemantik atas setiap gejolak dan sunyi

sungguh keras kepala,seperti ayahmu...

Berlari kencang aku tak lagi seorang remaja
Tubuh baja jiwa baja
Ruhku diam dalam wujud yang tak diam
Ruh yang bersemayam dengan kehendak tak pejam

Ia menjadi cahaya
Bagi semesta badan yang setiap saat akan padam
Maka aku menolak padam
Tidur lelap dalam damai kebodohan

kau pula lelakiku, sayang!

dan tak lagi ingusan!

Malang, 14 des ‘05




PERHATIAN! Berhubung ini blogger klasik mk ga da navigasi page PREVIOUS-NEXT nya. Jadi pake 'Archives' saja ya.. Thanks!


Video lainnya
Lee Kyung Hae
TERABAS (Breakthrough)
Hidden faces of Globalization
The Dapuranku
Previous Post
Archives
Teman-Teman
Link Exchange





KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
Blogger Indonesia
Add to Technorati Favorites
baby-blog
blog-share
ini zaman anti teori

resep masakan indonesia
Women's Diary
EPBLOG
Politics blogs
Manifesto
FPPI
Runi
Tengku Dhani
Malang Blog
Kumpul Cerpen
Dee Idea
Tokoh Indo
Puisi Indo
BengkelVenorika
Malik
Ratna Ningsih
Majapahit
Komter 193
Ragil Ragil
Mbak Ratna
Sajaknesia
Alang Liar
Balimoonlight
Theatreonline
Team Support
Sabudi Prasetyo
Youliens
Hedwigpost
Cepeca
Andi Nur
Adi Suara
A P I
Fath Alhadromi
Sekolah Petani
Hidup Petani
Pecangkul










Lodzi
Copy Paste CODE berikut di page anda dan kami akan me-LINK balik

Free money making opportunity


Previous Posts
BUDAK | MASAKU | PUTING BELIUNG | KAKIKU TERPAKU | BERITA HARI INI | TAK KUJUAL | INFEKSI | TIDAK | DAMAI AGUNGMU NUSANTARA | SEPANTASNYA |