Friday, February 09, 2007 |
BELENGGU
|
Badannya kurus kering Seperti jiwanya Sekering kampungnya Yang kerontang disengat kemarau
Malam telah berlalu Pagi yang bersinar menyambutnya Dengan kicau-kicau Dengan harapan Hari esok yang menuai mimpi dan keberkahan
Tapi pemuda itu tampak makin luruh Raut mukanya kusam Gairahnya kusut Dan matanya gelap menatap cahaya Udara dirasakannya pengap Cerah tak berarti apa-apa hari itu
Hidupnya dipenuhi tekanan Hari-harinya adalah jadwal Dan program-program picisan Otaknya dijejali ritual-ritual membosankan
Selintas dia meronta Berusaha memberontak Tapi belenggu itu rupanya terlalu kuat Untuk kedua belah t6angannya yang cacat Nafasnya memburu … tersengal sengal Kelopaknya berkaca; “Aku kalah!” Teriakan itu tiba-tiba saja terdengar dan mengankat dagunya Yang cemang-cemong
Dagunya terangkat menengadah Dan kata-kata yang tidak dipikirkannya terkulai lemah pada Suara yang seolah tersekat … tersendat … lunglai … Mengucur melalui bibirnya yang pecah pecah :
Tuhan, telah kau anugerahkan rahmatmu atas kampung ini Telah Kau hadiahkan kemerdekaan sebagai balasan atas derita juang kami Tapi adakah ini berarti …
Coba engkau lihat, Tuhan Pandangilah dalam-dalam Haruskah kami syukuri kebebasan ini Jika kami sendiri masih terus merintih-rintih di sini Pada waktu yang konon sudah pagi Masih haruskah kami berterima kasih Atas apa yang bukan milik kami
Kesabaran itu sudah lama lenyap Begitupun dengan kemarahan kami Yang beberapa waktu lalu Mesih aku temui nongkrong di ubun-ubun kami Semua sudah pergi Meninggalkan badan wadag Yang hanya menyisakan tulang belulang ini
Kemerdekaan?
Jadi tak bolehkah kami menyumpah nyumpah atas apa yang kami anggap omong kosong Yang senyatanya memang hanya dongeng samar tanpa ujung … definisi-definisi adiluhung yang dipetieskan dan digantikan dengan sekandal dan penggusuran
Sebab kemerdekaan mungkin hanya peluang Dan para pejabat yang berpesta pora Bersama tuan-tuan tanah Tak ada artinya apa-apa Tak seorangpun dapat mengertinya Tidak juga kami Yang terasing di rumah sendiri
Ada butir-butir bening yang mulai berjatuhan Matanya dihantam banjir Lidahnya membeku Tenggorokannya tiba tiba mampat Tersekat sesuatu yang tidak dipahaminya
Tuhan, jika kemarin datang berbagai jenis binatang buas ke rumah kami, dan menginjak-injak sawah ladang kami Maka telah Kau saksikan Sejarah telah kami aliri anyir darah Upacara pengorbanan sudah menghanguskan segalanya
Tapi ini sungguh diluar perhitungan, Tuhan Matahari belum lagi sepenggalahan Ketika beberapa teman kami tiba-tiba sudah memiliki taring dan cula Cukup lama mereka nampak mengitari halaman rumah-rumah kami dan meneteskan air liur di setiap tempat yang dilalui Tebaklah, Tuhan Kami harus berbuat apa
Bisa jadi kami ini memang terlalu sentimentil … baik hati .. kelewat penyayang Sehingga sesuatu yang harusnya kami singkirkan buru-buru mentah lantaran ingatan kami akan berharganya menyayangi saudara, paling tidak itulah yang kami pelajari dari orang-orang tua di kampong kami
Ah, andai saja mereka adalah sejenis binatang buas seperti dulu kami pernah menghalau Kami takkan semenderita ini Jika pun untuk itu kami harus mati Kami akan mati dengan tenang …
Mata pemuda itu masih membasah Ada sebersit senyum di bibirnya Seperti harapan Harapan yang kering … Seperti kampungnya yang kerontang Disengat kemarau
[Lamongan, 12 Desember 1997]
|
|
0 Comments: |
|
|
 |
|
|
|
|
|