Thursday, July 12, 2007 |
BUDAK
|
Yang namanya budak Tetaplah budak: Rendah!
Meski dikenakan pada badannya Pakaian kebesaran sebesar raja Jika ia budak: Tetaplah rendah!
Bukan persoalan siapa Atau apa motifnya Tapi engkau membudak: Itulah rendah!
Kau rendahkan dirimu Karenanya kaurendahkan aku Begitupun telah kaurendahkan tuhanmu.
  |
|
|
|
MASAKU
|
Hampir dipastikan Masaku telah habis di sana Orang-orang tak lagi mengenaliku Yang dulu begitu cantik menghunus keberanian
Dan di pundakku terlihat lebam Sebiru hari-hari yang malam Dan orang-orang mengacuhkannya Seperti udara kelam yang menikam
Sejurus didekapnya aku Lalu ku mati pelan-pelan
Malang, 7 agust 2004
  |
|
|
|
PUTING BELIUNG
|
Selembar keberanian gugur di medan perang Bersamaan dengan angin puting beliung
Irama monoton Kembali menghentak-hentak Seperti hujan batu sepanjang tahun
Dan kuselipkan rinduku pada kepongahan Untuk menghadang angin puting beliung Hingga akan kuhujani Hari-hari di sepanjang tahun Dengan nyanyian peperangan Yang elok dan agung
Malang, 7 agust 2004
  |
|
|
|
KAKIKU TERPAKU
|
Aku berjalan Mengendarai sepotong jarum jam Detik demi detik aku lewati Tanpa aku pernah mampu menghentikan geraknya Atau melompat mengacuhkannya; Karena turun dari jok itu Adalah kematian bagiku
Tak tahu … Tiba-tiba saja aku sudah terduduk di sini Ketika seorang nenek renta Dengan tertatih-tatih menghampiriku: “Pulanglah, hari telah beranjak siang …”
Aku hanya bisa terdiam Sambil memandang sang nenek itu berlalu; Kakiku seperti terpaku!
Aku bermain di bebiruan hari ini Memutar-mutar bola mimpi Dalam kegersangan pikiran Seorang kakek Dengan tatap mata yang dalam ia bertutur kepadaku: “Anak muda, pulanglah. Hari telah menjadi siang!”
Aku hanya bisa terdiam Sambil memandang sang kakek itu berlalu: Kakiku seperti terpaku
Kembali aku bermain Memutar-mutar bola mimpi Kali ini … Dengan seikat harapan Ketika tiba-tiba berdiri di depan hidungku Seorang muda perkasa Yang dengan mata merah melotot Ia menghardikku: “Pulang!! Hari telah menjadi siang! Tidakkah kau lihat api Yang menjalari dapur rumahmu Tidakkah engkau dengar derai tawa Yang menindih derai isak tangis Tidakkah engkau cium Bau busuk bangkai dalam nafas kamarmu Tidakkah engkau rasakan kepedihan itu Memasuki setiap ruang-ruang sempit Kesadaranmu.
Segerahlah engkau pulang Sebelum sang matahari Benar-benar enggan menunggumu Jangan biarkan saudara-saudaramu itu Menjelma dewa-dewa Berdiri angkuh di balik tembok-tembok istana Yang suaranya menggaung dari menara Sampai di padas-padas Ngarai dan samudra Dan kaudapati; setiiap waktu mereka mengincar nyawamu. Nasibmu. Bangunlah! Pulanglah!”
Aku hanya bisa terdiam Sambil memandang sang perkasa itu berlalu: Kakiku seperti terpaku!
[ Malang, 5 Mei 1999 ]
  |
|
|
|
BERITA HARI INI
|
Berita hari ini: Kudengar matahari enggan terbit Sebab bulan tampaknya sedang bermalasan Tidak tepat waktu Tuk selesaikan tugas rutin Kerja malam hari
Berita hari ini: Kudengar mendung tebal bertebaran Merayap pada dinding langit Dan terlalu letih untuk beranjak kembali
Berita hari ini: Koran-koran dan majalah robek Televisi hanyalah rangkaian mesin yang membosankan Yang semakin tak menawarkan apa-apa
Berita hari ini: Udara panas menelusup Pada setiap aliran darah Kudengar orang-orang tiba-tiba berkumpul Mengerumuni segumpal tubuh Yang membujur kaku pada semak waktu Di sebuah persimpangan yang lusuh
Berita hari ini: Kudengar, Tubuh malang itu adalah mayatku!
( malang, 21 April 2001 )
  |
|
|
|
TAK KUJUAL
|
Kuhisap rokok dalam rapuh malam Kuteguk anggur dalam sempoyomg kelam Ketiadaan menjelma duri Saat harus kuhadang aral
Berapa pun kau akan beli Indonesia Tak kan pernah negeri ini akujual Berapa pun kan kau tawar Indonesia Sejengkal pun tak kan pernah kuberikan
( malang, 26 Agustus 1999 )
  |
|
|
|
INFEKSI
|
Pada tanah Kering jiwa-jiwa terbakar Kemarin lusa, Lusuh kain benderaku robek Pahit cinta Berkali harus kusemai
Pada nisan Yang menebar bau anyir darah Kemarin, Mesiu telah mengirim kabar Bahwa pagi ini kerja belum lagi selesai
Dan akutemui darahku mendidih Menamparku untuk segera memburu Bergegas aku berlari Mewadahi desing peluru
Hingga pada luka Yang memar membekas popor senapan Hadirku untuk bersaksi Telah membuat luka-luka infeksi
( Malang, 25 April 2001 )
  |
|
|
|
TIDAK
|
Tidak! Aku bilang, tidak! Sebab hanya tidaklah Yang bisa menjawab kekesalanku pada kenyataan
Tidak! Sebab hanya tidaklah Yang dapat menghiburku Atas kekalahan-kekalahan
Tidak! Sekali lagi, tidak! Sebab hanya tidaklah Yang sanggup memaksaku Untuk tetap bergolak Atau paling tidak Untuk berani berkata, tidak!
( Malang, 21 April 2001 )
  |
|
|
|
DAMAI AGUNGMU NUSANTARA
|
Raharjaning nuswantara Langit kedap biru Cumlorot cahyaning srengenge Linandep ing antaraning mega-mega
Damai agungmu nusantara Dalam pernik-pernik yang ditumbuhi pepohonan Yang cabang dan rantingnya menjalari cakrawala Maka jika saja kau lihat patahan dahan dan bijian Yang tersentuh wangi bumimu Lekas serabut kecil itu akan menyeruak Dan segera membelukar dalam subur perutmu
Damai agungmu nusantara Yang menghias khatulistiwa dengan kapas mendung pada pagi cerah Serta mega warna kuning keemasan Saat matahari tenggelam ke dasar lautan Indahmu samudra… Yang menyimpan pantai dengan pasir warna-warni Hingga buih dan sauh pun Akan menjadi teramat betah berlama-lama di sana Hingga para nelayanmu Adalah prajurit gagah perkasa Yang enggan menyerah
Raharjaning nuswantara Langit kedap biru Cumlorot cahyaning srengenge Linandep ing antaraning mega-mega
Gemulai pertiwi Mengibaskan lengan dengan lentik jemarinya Menebar bunga pada landai angin laut pantai Serta sejuk pada rindang teguh gunung-gunungmu yang termenung
Senyumnya menyeruak galau Lembut sorot matanya rindu Membelai kaki-kaki bukit Yang melukis pelangi pada batas cakrawala, Usai hujan yang membasah Ia mengusap batang-batang padi Serta pucuk-pucuk pinus Yang menari Di antara seribu matahari
Damai agungmu nusantara Hingga maha tak terkiralah Siapa pun … Yang pernah menciptamu
  |
|
|
|
|